Beranda | Artikel
Semua Orang Dimudahkan Sesuai dengan Takdirnya
1 hari lalu

Ada sebuah pertanyaan filosofis yang sering dijadikan argumen penguji tentang otoritas Tuhan, “Kalau kita sudah ditakdirkan masuk neraka, mengapa kita masih disuruh beramal?”

Pertanyaan mendasar ini kemudian melahirkan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Sebagian hanya karena rasa penasaran dalam perjalanannya berusaha memahami agama. Sebagian lagi juga menjadikannya argumen untuk mengkritisi konsep ketuhanan atau merendahkannya.

Untuk menjawab kebingungan ini, Islam mengakomodasinya dengan sebuah konsep dan beberapa argumentasi yang logis dan kritis. Karena ternyata pertanyaan ini pernah ditanyakan para sahabat kepada Nabi ﷺ. Tentu konteks para sahabat bertanya berbeda dengan sebagian orang yang bertanya demikian, yakni para sahabat bertanya untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya. Pertanyaan tersebut termaktub dalam sebuah hadis dari ‘Imran radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya kepada Rasulullah ﷺ,

يَا رَسُولَ اللَّهِ، فِيمَا يَعْمَلُ الْعَامِلُونَ؟

“Wahai Rasulullah, lantas untuk apa orang-orang yang beramal melakukan amalan mereka?” (HR. Bukhari no. 7551)

Pertanyaan semisal kemungkinan tidak ditanyakan sekali oleh para sahabat, sebab ada riwayat lain yang memiliki narasi semisal, seperti datang dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu. Lalu, Rasulullah menjawabnya dengan sebuah kalimat ringkas nan indah,

كُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ

Beliau ﷺ bersabda, “Setiap orang akan dimudahkan (menuju jalan) penciptaannya.”

Dari jawaban beliau ﷺ, terdapat argumentasi yang dapat menjawab seutuhnya pertanyaan tersebut. Pertama, kita tidak mengetahui hakikat takdir kita berakhir seperti apa. Tidak ada yang saat ini bisa menjamin posisi akhir kita di akhirat nanti, apakah di surga ataupun di neraka.

Kedua, kita hanya diberitahukan tanda-tanda dan kaidah global mengenai hal tersebut. Penghuni surga adalah mereka yang memenuhi syarat ahli surga. Ciri-ciri penghuni surga adalah mereka yang melakukan amalan ahli surga. Informasi ini kita ketahui datangnya dari Sang Penguasa Surga sendiri, yakni Allah ﷻ melalui kitab-Nya dan utusan-Nya.

Argumen ini ditegaskan Nabi ﷺ dengan ungkapan, “Setiap orang akan dimudahkan sesuai dengan takdirnya.” Maka, satu-satunya hal yang bisa kita lakukan untuk “memastikan” takdir kita adalah surga, hanyalah dengan berusaha jujur dan semaksimal mungkin melaksanakan amalan ahli surga.

Sering maksiat, apakah saya ahli neraka?

Mungkin muncul pertanyaan di benak kita, “Kok saya merasa sulit melakukan amal kebaikan dan mudah bermaksiat? Apakah ini pertanda saya ahli neraka?”

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita menggunakan keterangan lain dalam Islam yang berbeda sub-bab dari pembahasan sebelumnya. Rasulullah ﷺ memberikan keterangan bahwasanya surga dikelilingi oleh hal-hal yang dibenci hawa nafsu, sedangkan neraka dihiasi dengan semua yang memuaskan syahwat. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,

حُجِبَتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ، وَحُجِبَتِ الْجَنَّةُ بَالْمَكَارِهِ

“Neraka itu tertutup (dikelilingi) dengan berbagai kesenangan dan surga itu tertutup dengan berbagai hal yang dibenci.” (HR. Bukhari no. 6487 dan Muslim no. 2822)

Melakukan amal surgawi itu tidaklah mudah karena ia memiliki prasyarat, yakni harus melawan hawa nafsu. Sementara hawa nafsu adalah hal yang sudah terinstal sejak awal dalam jiwa kita. Hawa nafsu dan akal menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya. Sebagaimana Allah ﷻ menjadikan kecintaan pada urusan dunia sebagai fitrah sekaligus ujian bagi manusia. Hal ini disebutkan dalam firman-Nya,

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلْبَنِينَ وَٱلْقَنَٰطِيرِ ٱلْمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلْفِضَّةِ وَٱلْخَيْلِ ٱلْمُسَوَّمَةِ وَٱلْأَنْعَٰمِ وَٱلْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلْمَـَٔابِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran: 14)

Jelaslah bahwa melawan kesukaan jiwa itu akan sangat sulit, sebab ia telah terpatri dan kita hidup bertumbuh dengannya. Dan menuruti hawa nafsu adalah biang dari berbagai keburukan. Tidaklah ia mengantarkan kepada keburukan kecuali jika ia terbimbing oleh petunjuk Allah ﷻ Dalam Al-Quran, Allah ﷻ berfirman,

إِنَّ ٱلنَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ ۚ إِنَّ رَبِّى غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf: 53)

فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ ۚ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allâh sedikitpun. Sesungguhnya Allâh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Qashshash: 50)

Namun, ketahuilah! Sesungguhnya beratnya melawan hawa nafsu adalah jihad atau kesempatan berjuang yang memiliki nilai berharga di sisi Allah ﷻ. Sulitnya perjuangan itu berhikmah menambah nilai pahala yang berbalas kenikmatan dari rahmat Allah ﷻ.

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفْسَ عَنِ ٱلْهَوَىٰ (40) فَإِنَّ ٱلْجَنَّةَ هِىَ ٱلْمَأْوَىٰ 

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An Nazi’at: 40-41)

Al-Qur’an menggambarkan perjalanan manusia menuju kesempurnaan sebagai perjuangan. Allah ﷻ berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَٰنُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَىٰ رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَٰقِيهِ

“Wahai manusia! Sesungguhnya kamu telah bekerja keras menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS. Al-Insyiqaq: 6)

Kesempurnaan manusia dicapai melalui perjalanan di lautan hawa nafsu, syahwat, dan tarikan berbagai keinginan. Dalam perjalanannya menuju Allah, manusia melawan hawa nafsunya dengan kehendaknya sendiri. Jika hawa nafsu dihilangkan dari manusia, maka gerakan dan perjuangannya juga akan hilang, sehingga ia tidak akan bisa mencapai kesempurnaan spiritual, psikologis, maupun intelektual.

Maka, mudahnya berbuat maksiat bukanlah pertanda anda ahli neraka. Justru hal itu menjadi peluang bagi kita untuk mencapai surga tertinggi Allah ﷻ. Kesadaran dramatis bahwa diri ini mudah berbuat dosa sebenarnya dapat dijadikan penguat kita untuk semangat bertobat dan memperbanyak amal kebaikan sebagai pengiringnya.

Teladan sahabat Nabi dalam menyikapi hadis takdir

Bahkan dengan kabar dari Nabi ﷺ demikian, justru para sahabat begitu bersemangat untuk beramal. Dalam sebagian riwayat, setelah mendengar sabda Nabi tersebut, sahabat Nabi Suroqoh bin Ju’syum radhiyallahu ‘anhu menyatakan,

فَلَا أَكُونُ أَبَدًا أَشَدَّ اجْتِهَادًا فِي الْعَمَلِ مِنِّي الْآنَ

“Tidak pernah aku merasa lebih bersemangat untuk beramal (berbuat kebaikan) dibandingkan hari ini (sejak mendengar sabda nabi tersebut).” (HR. Ibnu Hibban no. 337)

Lihatlah teladan para sahabat radhiyallahu ‘anhum tersebut. Mereka tidak berpangku tangan dengan catatan takdir yang sudah digariskan. Akal mereka menghasilkan pandangan yang bijak, hasil dari penalaran kritis terhadap jawaban Nabi ﷺ. Mereka bersemangat mencari sebab prasyarat memasuki surga Allah ﷻ. Perhatikanlah keadaan para sahabat yang sudah dijamin surga bahkan dipastikan langsung oleh lisan Nabi ﷺ. Hingga akhir hayatnya, mereka semua berusaha menjaga iman dan memperbanyak amal saleh. Abu Bakr tetap menyumbangkan seluruh hartanya di jalan Allah ﷻ. Umar tetap mengkhawatirkan dirinya sebagai munafik dan terus memperhatikan imannya. Begitupula dengan sahabat lainnya, mereka tidak jumawa dengan jaminan surga atas diri mereka.

Ingatlah! Tiada yang mengetahui takdirnya hingga ia menemui takdir itu sendiri. Ketahuilah! Kesempatan untuk meraih surga tidak tertutup hingga ajal di kerongkongan. Maka, bersegeralah bertobat, agar amal surgawi kian banyak memenuhi catatan amal kita yang penuh dosa maksiat itu. Hingga akhirnya kita mendapatkan panggilan dari Allah ﷻ Al-Halim,

يَٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفْسُ ٱلْمُطْمَئِنَّةُ () ٱرْجِعِىٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً () فَٱدْخُلِى فِى عِبَٰدِى () وَٱدْخُلِى جَنَّتِى 

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al Fajr: 27-30)

***

Penulis: Glenshah Fauzi

Artikel Muslim.or.id


Artikel asli: https://muslim.or.id/104375-semua-orang-dimudahkan-sesuai-dengan-takdirnya.html